Rupiah Tertekan: Ini Saran Apindo untuk Pengusaha Indonesia!

Ketum Apindo Shinta Widjaja menyebut tidak banyak yang bisa dilakukan pelaku usaha selain bertahan dan menjaga daya saing.

Liputanku, JakartaTerdepresiasinya nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp 17.000 per dolar Amerika Serikat, menjadi tantangan baru bagi sektor bisnis. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan bahwa tekanan ini semakin berat mengingat terjadi bersamaan dengan kebijakan tarif dagang dari Amerika Serikat.

“Kami merasa khawatir, level nilai tukar serendah ini akan menambah beban baru bagi perekonomian Indonesia, selain beban yang sudah ada akibat tarif yang diterapkan Trump pada ekspor Indonesia secara langsung,” ujar Shinta saat dihubungi pada hari Rabu, 9 April 2025.

Namun, ia menyadari bahwa gejolak ini adalah konsekuensi dari ketidakpastian global yang disebabkan oleh perang tarif. Shinta meyakini bahwa rupiah berpotensi pulih jika stabilitas global kembali normal dan pemerintah mampu mempertahankan fondasi ekonomi dalam negeri. Apindo juga mendorong pemerintah untuk memperkuat kebijakan fiskal serta makroekonomi.

Strategi Pengusaha Menghadapi Tekanan Rupiah

Di tengah melemahnya nilai rupiah, pelaku bisnis mengambil langkah penyesuaian. Apindo menjelaskan beberapa strategi yang diimplementasikan guna menjaga keberlangsungan usaha.

Langkah utama yang diambil termasuk menjaga efisiensi operasional, memastikan kelancaran arus kas, dan menunda pembelian, terutama impor barang yang tidak prioritas. “(Kami juga) berupaya memanfaatkan program stimulus yang akan segera diluncurkan,” ungkap Shinta.

Sejumlah perusahaan juga mempertimbangkan strategi lindung nilai (hedging) untuk mengurangi dampak fluktuasi mata uang. Akan tetapi, menurut Shinta, opsi ini kurang diminati karena implikasi finansialnya cukup besar. “Hanya sebagian kecil pelaku usaha yang mampu melaksanakannya,” katanya.

Keterbatasan di Tengah Krisis Global

Shinta menyatakan bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha dalam situasi ini, selain bertahan dan menjaga daya saing. “Saat kondisi perang tarif mereda atau ketika pelaku ekonomi global lebih mampu mengukur dampak dari perang tarif yang tengah berlangsung, nilai tukar diyakini akan rebound dengan sendirinya,” jelasnya.

Dalam menghadapi kondisi ini, Bank Indonesia juga berupaya melakukan intervensi ganda di pasar offshore, seperti Asia, Eropa, dan New York, melalui skema Non Deliverable Forward (NDF). Selain itu, di pasar domestik, BI melakukan intervensi valas dan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menjaga kepercayaan pasar. Langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan eksternal yang masih signifikan.

Anastasya Lavenia Y turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: