Liputanku, Jakarta – Suiker fabriek atau pabrik gula Gondang Winangoen kembali menjadi perbincangan hangat seiring dengan penayangan film “Pabrik Gula” di bioskop sejak 31 Maret 2025. Film karya Awi Suryadi ini mengisahkan tentang teror misterius yang berujung pada kematian seorang pekerja.
Pabrik Gula Gondang Winangoen, yang berdiri sejak 1860, menjadi saksi bisu masa penjajahan Belanda di Indonesia. Menurut data dari Kemendikbud, pabrik ini merupakan bagian dari perusahaan Klatensche Cultuur Maatschappij, sebuah anak perusahaan swasta asal Den Haag, Belanda, yang bergerak dalam budidaya tanaman ekspor.
Perusahaan Den Haag ini memiliki sejumlah perkebunan di Jawa, termasuk Vereenigde Klattensche Maatschappij, Vereenigde Lawoe Ondernemingen, Japarasache Cultuur Maatschappij, Cultuur Mij Begitu, dan Cultuur Mij Djoewiring. Klattensche Cultuur Maatschappij sendiri didirikan pada 8 Januari 1887 di Klaten, sesuai dengan namanya. Pabrik ini dulunya merupakan salah satu yang terbesar di Jawa. Pada abad ke-18, Jawa pernah menjadi pemasok gula terbesar di dunia, bersaing ketat dengan Kuba.
Pada tahun 1927, anak perusahaan Klattensche Cultuur Maatschappij membawahi delapan pabrik di Jawa, antara lain Sugar Estate Poendoeng di Yogyakarta, Sugar Estate Gondang Winangoen di Surakarta, Sugar Estate Delanggoe di Surakarta, Sugar Estate Mojo Sragen di Surakarta, Sugar Estate Kedung Banteng di Surakarta, dan Sugar Estate Tanjong Modjo di Kudus.
Fasilitas Pabrik Gula di Masa Lalu
Pabrik gula Gondang Winangoen dirancang dengan mengedepankan efektivitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. Fasilitasnya meliputi bangunan pabrik utama, garasi, kantor, rumah administratur dan pimpinan pabrik, perumahan pegawai, gedung pertemuan, tempat penimbunan ampas gilingan, timbangan tebu, bengkel angkutan, dan balai kesehatan.
Pabrik gula ini terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang sebagian besar wilayahnya berada di lereng dan lembah Gunung Merapi, tepatnya di pinggir jalan raya Jogja-Solo, Desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan. Bahan baku tebu diperoleh dari desa-desa di sekitarnya. Pabrik ini beroperasi selama lima bulan dalam setahun, dari Mei hingga September, yang merupakan musim panen tebu. Selama periode tersebut, pabrik beroperasi 24 jam non-stop.
Pabrik gula ini sempat mengalami masa sulit dan berhenti beroperasi akibat krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an. Namun, pada periode 1935-1942, pabrik kembali beroperasi di bawah kepemimpinan Boerman dan MF Bremmers. Setelah itu, pabrik sempat dikuasai oleh Jepang. Setelah Indonesia merdeka, pabrik diambil alih oleh Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN).
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1960-an, nama pabrik dinasionalisasi menjadi Pabrik Gula Gondang Baru. Kejayaan pabrik ini tidak hanya dirasakan pada masa pemerintahan Belanda, tetapi juga pada masa pemerintahan Indonesia hingga pertengahan tahun 1970-an. Namun, pada tahun 2017, Gondang Winangoen berhenti memproduksi gula.
Pabrik Jadi Agrowisata
Setelah tidak lagi berproduksi, pemerintah setempat mengubah bangunan peninggalan kolonial ini menjadi destinasi wisata. Pabrik gula ini kemudian dialihfungsikan menjadi agrowisata berbasis edukasi dan rekreasi pada tahun 2009, dengan tetap mempertahankan karakter asli bangunan pabrik gula. Dahulu, sebelum pabrik berhenti beroperasi, pengunjung dapat menyaksikan langsung proses pembuatan gula.
Salah satu daya tarik utama adalah Museum Gula, yang didirikan pada 11 September 1982 atas inisiatif Soepardjo Rustam, Gubernur Jawa Tengah pada saat itu. Museum ini menampilkan berbagai hal terkait proses pembuatan gula tebu, mulai dari mesin uap tertua buatan Prancis, B Laha Ye & Brissoneant tahun 1884, hingga mesin-mesin peninggalan abad ke-19.
Selain itu, daya tarik lainnya adalah The Gondang Park, yang menawarkan berbagai wahana seperti waterpark dengan kolam renang anak dan dewasa serta seluncur air, wahana highrope, flying fox, kids zone, dan rumah hantu Ghost Hunter.
Liputanku