PIKIRAN RAKYAT – Pada pembukaan perdagangan hari Rabu pagi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan pelemahan. Kondisi ini terjadi di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global dan sikap investor yang masih menantikan perkembangan negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Sentimen negatif juga diperkuat oleh tekanan dari pasar global yang secara umum mengalami penurunan.
IHSG dibuka dengan penurunan sebesar 17,70 poin atau 0,30 persen, berada pada posisi 5.978,44. Hal ini melanjutkan tren penurunan yang telah berlangsung sejak awal pekan. Indeks LQ45, yang terdiri dari saham-saham pilihan, juga sempat mengalami penurunan sebesar 1,00 poin atau 0,15 persen, mencapai posisi 666,77.
“Diperkirakan IHSG masih akan menghadapi tekanan jual pada sesi perdagangan berikutnya dan berpotensi melanjutkan tren penurunan,” demikian pernyataan dari Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam analisis pagi yang dirilis di Jakarta.
Sentimen Domestik: Kekhawatiran Tarif AS dan Respons Pemerintah
Tekanan yang terjadi di pasar dalam negeri terutama dipicu oleh pengumuman bahwa Indonesia termasuk dalam daftar negara yang akan dikenakan tarif tinggi oleh Amerika Serikat, yakni sebesar 32 persen. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari strategi proteksionisme yang diterapkan oleh pemerintahan AS, sehingga memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.
Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia dikabarkan sedang mempersiapkan delegasi tingkat tinggi untuk melakukan negosiasi langsung dengan pihak AS. Beberapa usulan telah disiapkan, termasuk pelonggaran aturan TKDN, deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), dan peningkatan impor dari AS.
Namun, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang AS, sementara waktu semakin mendekati batas akhir pemberlakuan tarif.
Gejolak Global: Pengaruh dari AS, China, hingga Eropa
Dari kancah internasional, kondisi pasar juga tidak mendukung. Di Amerika Serikat, Wall Street ditutup dengan penurunan tajam pada perdagangan hari Selasa, 8 April 2025. Investor kehilangan keyakinan terhadap penundaan penerapan tarif baru oleh AS.
- S&P 500 ditutup merosot 79,48 poin (1,57%) menjadi 4.982,77
- Dow Jones turun 320,01 poin (0,84%) menjadi 37.645,59
- Nasdaq anjlok 335,35 poin (2,15%) menjadi 15.267,91
Situasi serupa terjadi di Asia. Indeks saham utama di kawasan, seperti Nikkei Jepang dan Shanghai Composite China, juga mengalami koreksi yang signifikan:
- Nikkei Jepang melemah 820,55 poin (2,49%)
- Shanghai turun 23,03 poin (0,73%)
- Kuala Lumpur merosot 13,46 poin (0,93%)
- Straits Times Singapura melemah 51,55 poin (1,49%)
Sementara itu, Gedung Putih telah mengumumkan rencana pemberlakuan tarif baru sebesar 104 persen terhadap produk-produk asal China mulai hari ini, Rabu, 9 April 2025. Pemerintah China menyebut langkah ini sebagai tindakan “pemerasan” dan menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah.
“China tidak akan tunduk pada ancaman pemerasan. Kami akan membela kepentingan nasional kami dengan segala cara,” tegas pernyataan dari Kementerian Perdagangan China.
Ketegangan tidak berhenti di situ. Di Eropa, Komisi Eropa juga mengusulkan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap berbagai produk asal AS. Ini merupakan respons terhadap tarif tinggi yang sebelumnya diberlakukan terhadap mobil dan logam dari Eropa.
Meskipun sempat mengalami tekanan selama empat hari berturut-turut, pasar saham Eropa sedikit menguat pada Selasa malam. Namun, investor tetap waspada dan terus memantau reaksi pemerintah masing-masing terhadap kebijakan tarif agresif dari AS.
- STOXX 600 naik 2,72% menjadi 486,91
- DAX Jerman naik 2,48% menjadi 20.280,26
- FTSE 100 Inggris naik 2,71% menjadi 7.910,53
- CAC 40 Prancis naik 2,5% menjadi 7.100,42
Arah Pasar Selanjutnya: Bergantung pada Upaya Diplomasi
Kondisi pasar saat ini sangat dipengaruhi oleh hasil diplomasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Para pelaku pasar akan terus memantau pernyataan resmi dari Washington D.C. dan kesiapan proposal yang disiapkan oleh delegasi Indonesia.
“Saat ini, IHSG berada dalam fase yang penuh dengan ketidakpastian. Investor mengambil sikap *wait and see* terhadap hasil negosiasi. Jika pemerintah gagal mencapai kesepakatan, tekanan jual berpotensi berlanjut,” ungkap Analis Lotus Andalan Sekuritas.***