Liputanku – JAKARTA. Gejolak global yang dipicu oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Donald Trump, serta kekhawatiran akan terjadinya resesi global, memberikan tekanan signifikan pada harga komoditas unggulan, termasuk minyak mentah dan logam industri.
Menurut data dari Trading Economics, dalam kurun waktu sebulan terakhir, harga minyak WTI mengalami penurunan sebesar 9,13% menjadi US$ 61,5 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent juga menunjukkan tren penurunan sebesar 8,72% menjadi US$ 64,76 per barel hingga hari Jumat (11/4).
Sektor logam industri juga mengalami penurunan harga. Penurunan paling mencolok terjadi pada alumunium, yaitu sebesar 11,01% menjadi US$ 2.401 per ton. Nikel juga mengalami penurunan sebesar 10,17% menjadi US$ 15.020 per ton, diikuti oleh timah dengan penurunan sebesar 7,54% menjadi US$ 30.658 per ton.
Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan, analis dari Indo Premier Sekuritas, berpendapat bahwa melemahnya harga komoditas ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adanya kemungkinan besar penundaan ekspansi industri akibat ketidakpastian yang disebabkan oleh perang dagang, yang secara langsung menekan permintaan terhadap logam. Kedua, tekanan inflasi dalam jangka pendek menyebabkan peningkatan biaya modal. Meskipun demikian, dalam jangka menengah, situasi ini berpotensi berubah menjadi stagflasi atau bahkan deflasi, yang juga akan berdampak negatif pada tingkat permintaan.
“Meskipun saat ini ada jeda waktu 90 hari terkait tarif timbal balik, kecuali untuk China, ketidakpastian terkait permintaan global masih menjadi perhatian utama,” tulis mereka dalam riset yang diterbitkan pada hari Rabu (4/4).
Dari sisi pasokan, mereka menyoroti bahwa implementasi program B40 dan potensi kenaikan tarif royalti pertambangan yang direncanakan akan berlaku pada pertengahan April 2025 menjadi risiko signifikan bagi para pelaku industri.
Menurut pandangan mereka, meskipun langkah-langkah ini seharusnya memicu respons pasokan, tantangan yang dihadapi justru berasal dari penurunan harga energi. Harga batubara ICI dan Newcastle masing-masing mengalami penurunan sebesar 6% dan 21% secara Year-to-Date (YTD), sementara harga minyak mentah turun sebesar 18% YTD.
“Padahal, biaya energi menyumbang sekitar 30% dari total biaya operasional smelter,” jelas mereka lebih lanjut.
Penurunan biaya energi ini berpotensi menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam biaya produksi nikel pig iron (NPI). Dengan permintaan yang masih lemah, harga NPI berpotensi mengalami penurunan yang lebih dalam. Situasi serupa pernah terjadi pada awal tahun 2023, ketika penurunan harga batubara menyebabkan penurunan yang signifikan pada harga NPI.
Saat ini, mayoritas produsen tidak menghasilkan nikel murni 99,9%, melainkan nikel kelas 2 seperti NPI dan feronikel. “Produk-produk ini belum terlalu terpengaruh oleh tarif karena tidak ada spekulan finansial di dalam pembentukan harganya,” jelas mereka.
Dengan adanya tekanan dari sisi biaya dan permintaan, Indo Premier Sekuritas memperkirakan bahwa siklus harga nikel akan mengalami perjalanan yang sulit sebelum akhirnya berbalik naik. Oleh karena itu, mereka tetap berhati-hati terhadap sektor ini. Mereka merekomendasikan saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sebagai pilihan utama karena kemampuannya dalam menghasilkan arus kas bebas yang kuat, imbal hasil dividen yang menarik di kisaran 9%-10%, serta neraca keuangan yang solid.
“ANTM telah mencatat kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan emiten sejenis dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara YTD,” tutup analis dari Liputanku.