Bank Indonesia Awasi Pasar Keuangan Global Pasca Kebijakan Tarif Impor Trump

Liputanku – Bank Indonesia (BI) memantau perkembangan pasar keuangan global dan domestik setelah pengumuman kebijakan tarif impor baru terhadap Indonesia sebesar 32 persen oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menyatakan bahwa pengumuman kebijakan tarif tersebut telah memicu gejolak di pasar keuangan global. Kemudian diikuti pengumuman retaliasi tarif oleh Tiongkok pada 4 April 2025.

“Pasar bergerak dinamis di mana pasar saham global mengalami pelemahan dan yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024,” kata Ramdan dalam keterangan tertulis kepada media, Sabtu (5/4).

Menghadapi situasi ini, BI menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui beberapa langkah strategis, termasuk optimalisasi intervensi tiga lapis di pasar valas (valuta asing), baik pada transaksi spot maupun Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

“Dalam rangka memastikan kecukupan likuiditas valas untuk kebutuhan perbankan dan dunia usaha serta menjaga keyakinan pelaku pasar,” ujarnya.

Sebelumnya, Trump telah mengumumkan akan memberlakukan tarif dasar 10 persen pada semua impor ke AS dan bea yang lebih tinggi pada puluhan negara lainnya. Di antara sekutu dekat AS, Jepang menjadi sasaran tarif 24 persen, Korea Selatan 25 persen, Taiwan 32 persen, dan Uni Eropa 20 persen.

Sementara Inggris, Australia, Selandia Baru, Arab Saudi, dan sebagian besar negara Amerika Selatan dibebaskan dengan tarif minimal 10 persen.

Di sisi lain, enam dari sembilan negara Asia Tenggara yang dicantumkan Trump dikenai tarif yang jauh lebih besar dari perkiraan. Indonesia dikenai tarif impor sebesar 32 persen. Selain Indonesia, Trump juga mengenakan tarif impor yang tinggi ke negara-negara ASEAN lainnya yakni Thailand 36 persen, Vietnam 46 persen, dan Tiongkok 34 persen.

Trump menyebut kebijakan ini sebagai ‘Hari Pembebasan’ atau ‘Liberation Day’ karena banyak negara, termasuk para sekutu AS, dianggapnya curang terhadap negaranya, terutama dalam masalah perdagangan internasional.

Leave a Comment