Liputanku – JAKARTA. Perang dagang telah meningkatkan persepsi risiko investasi di Indonesia, tercermin dari kenaikan Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun. Kondisi ini berpotensi menarik keluar dana asing dan menekan nilai tukar rupiah.
Pada Senin (7/4), rupiah spot melemah 1% hingga mencapai Rp 16.822 per dolar Amerika Serikat (AS).
Suhindarto, Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, menjelaskan bahwa kenaikan CDS mengindikasikan meningkatnya risiko investasi di pasar keuangan Indonesia. Hal ini berpotensi memicu sentimen negatif dan mendorong aksi jual di pasar saham maupun obligasi.
“Keluarnya investor asing akan menurunkan permintaan terhadap rupiah dan meningkatkan permintaan dolar AS, sehingga menyebabkan depresiasi rupiah,” jelasnya kepada Liputanku, Senin (7/4).
Senada dengan Suhindarto, Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, mengamati hal serupa. Data ketenagakerjaan yang lebih baik dari perkiraan pasar semakin memperburuk situasi dan menekan rupiah.
“Dalam situasi ini, triple intervention dan langkah stabilisasi rupiah dari Bank Indonesia kemungkinan akan dilakukan untuk meredam volatilitas,” ujarnya kepada Liputanku, Jumat (4/4).
Lukman Leong, Analis Doo Financial Futures, memperkirakan rupiah berpotensi mencapai level Rp 17.000 – Rp 18.000 per dolar AS. Namun, hal ini akan membutuhkan peningkatan intensitas intervensi dari Bank Indonesia (BI).
Di sisi lain, keberhasilan negosiasi Indonesia-AS berpotensi membantu penguatan rupiah, seperti yang terlihat dari penguatan sedikit Vietnam Dong setelah negosiasi mereka membuahkan hasil.
Lukman menambahkan bahwa ketidakpastian saat ini membuat prediksi nilai rupiah menjadi sulit.
“Namun, dengan kondisi saat ini, BI mungkin akan menggunakan kisaran Rp 17.000 – Rp 18.000 sebagai level normal baru,” tutupnya.