Jamu Mendunia: UNESCO Resmi Akui Warisan Budaya Indonesia

Setelah pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai warisan kebudayaan, tugas rakyat jelatan sampai presiden melestarikan dan mengembangkan jamu.

TATKALA menggagas gerakan “Jamu Goes To UNESCO”, saya menghadapi keraguan dari sebagian dokter dan apoteker Indonesia. Mereka seolah masih terpengaruh pandangan yang diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda.

Mereka beranggapan bahwa jamu tidak pantas mendapatkan pengakuan UNESCO. Alasan mereka, khasiat jamu belum terbukti secara klinis berdasarkan standar ilmiah Barat.

Namun, saya tetap bersemangat memperjuangkan agar jamu diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dasar keyakinan saya adalah fakta bahwa jamu sudah ada jauh sebelum bangsa Belanda memperkenalkan ilmu farmasi dan kedokteran di Nusantara.

Sejarah membuktikan dengan jelas bahwa kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, dan Majapahit mampu menjaga kesehatan dan kekuatan mereka dengan memanfaatkan jamu.

Alhamdulillah, berkat perjuangan tak kenal lelah dari Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia dan Dewan Jamu Indonesia, akhirnya pada 6 Desember 2023, UNESCO secara resmi mengakui Jamu sebagai Warisan Budaya Dunia.

Dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, juga dukungan dari para dokter dan apoteker yang pro-jamu, sangatlah membanggakan.

Namun, sangat disayangkan bahwa dukungan dari Kementerian Kesehatan terkesan minim atau bahkan setengah hati.

Dengan alasan saintifikasi jamu, Kemenkes dan BPOM bersikeras mengganti istilah Jamu dengan istilah Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Padahal, yang diakui UNESCO adalah Jamu, bukan Herbal atau Fitofarmaka.

Dualisme kebijakan antara Kemenbud-Kemenlu dan Kemenkes-BPOM sebenarnya tidak perlu terjadi. Seharusnya, istilah Jamu Terstandar dan Jamufarmaka bisa digunakan, selaras dengan pengakuan UNESCO.

Jamu adalah istilah asli Indonesia, sedangkan Herbal dan Fitofarmaka adalah istilah asing.

Terlihat bahwa warisan pemikiran kolonial masih memengaruhi sebagian dokter dan apoteker Indonesia saat ini.

Kita perlu belajar dari India dan China tentang kedaulatan kesehatan nasional. Mereka berhasil menjalankan kebijakan kesehatan nasional melalui dua jalur yang sejajar dan setara: jalur tradisional dan jalur medis Barat, yang saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Sebenarnya, jamu dan obat farmasi tidak perlu dipertentangkan. Khasiat jamu yang telah terbukti secara empiris selama ribuan tahun terletak pada pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sementara itu, potensi obat farmasi dan kedokteran Barat lebih pada pengobatan (kuratif).

Perlu diingat bahwa pada awal abad XXI, WHO telah menekankan bahwa paradigma kesehatan Abad XXI mengutamakan preventif dan promotif sebagai pelengkap kuratif, sesuai dengan prinsip “sedia payung sebelum hujan”.

Memang, lebih baik mencegah dan menjaga kesehatan agar manusia tidak terserang penyakit, daripada bersusah payah (dan mahal) mengobati penyakit yang sudah diderita.

Pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai warisan kebudayaan merupakan tugas dan kewajiban seluruh bangsa Indonesia, dari rakyat biasa hingga presiden, untuk melestarikan dan mengembangkan jamu.

Dengan kerendahan hati, atas nama bangsa Indonesia yang bangga atas jamu sebagai warisan kebudayaan dunia, saya memohon kepada Kemenkes dan BPOM untuk melestarikan dan mengembangkan Jamu sesuai dengan pengakuan UNESCO, tanpa menggunakan istilah asing warisan kolonial seperti Herbal dan Fitofarmaka. MERDEKA!